Sabtu, 08 Januari 2011

Objek Wisata Benteng Portugis

Salah satu objek wisata andalan di Jepara adalah Benteng Portugis yang terletak di desa Banyumanis Kecamatan Keling atau +/- 45 km di sebelah utara kota Jepara dan untuk mencapainya tersedia sarana jalan aspal dan transportasi reguler.

Dilihat dari sisi geografis benteng ini nampak sangat strategis untuk kepentingan miiter, khususnya zaman dahulu yang kemampuan tembakan meriamnya terbatas 2 s/d 3 km saja. Benteng ini dibangun diatas sebuah bukit batu dipinggir laut dan persis didepannya terhampar pulau Mondoliko, sehingga praktis selat yang berada didepan benteng ini berada dibawah kontrol Meriam Benteng sehingga akan berpengaruh pada pelayaran kapal dari Jepara ke Indonesia bagian Timur atau sebaliknya.


Sejarah

pada tahun 1619, kota Jayakarta/Sunda Kelapa dimasuki oleh VOC Belanda dan saat ini kota Sunda Kelapa yang dirubah namanya Batavia dianggap sebagai awal tumbuhnya penjajahan oleh imperialis Belanda di Indonesia. Sultan Agung Raja Mataram sudah merasakan adanya bahaya yang mengancam dari situasi jatuhnya kota Jayakarta ke tangan Belanda. Untuk itu, Sultan Agung mempersiapkan angkatan perangnya guna mengusir penjajah Belanda.

Tekad Raja Mataram ini dilaksanakan berturut-turut pada tahun 1628 dan tahun 1629 yang berakhir dengan kekalahan di pihak Mataram. Kejadian ini membuat Sultan Agung berpikir bahwa VOC Belanda hanya bisa dikalahkan lewat serangan darat dan laut secara bersamaan. Padahal Mataram tidak memiliki armada laut yang kuat, sehingga perlu adanya bantuan dari pihak ketiga yang juga berseteru dengan VOC yaitu bangsa Portugis.

Perjanjian kerjasama antara Mataram dan Portugis segera diadakan dan untuk tahap awal Portugis menempatkan tentaranya di Benteng yang dibangun oleh Mataram pada tahun 1632. benteng ini jelas sangat efektif untuk menjaga lintas pelayaran ke kota Jepara yang menjadi bandar utama Mataram untuk ekspor impor.

Kenyataan kerjasama Mataram dan Portugis tidak bisa direalisir untuk tujuan mengusir Belanda di Batavia, karena Portugis tidak pernah menepati janjinya untuk mengirim armada laut yang kuat guna menyerang VOC di Batavia. Bahkan tahun 1642 orang-orang Portugis angkat kaki dari benteng ini karena Malaka sebagai kota utama Portugis di Asia Tenggara justru direbut oleh Belanda pada tahun 1641.

pada saat ini, bekas-bekas benteng yang terletak diatas bukit ini masih terawat dengan baik dan panorama laut serta gunung Pucang Pendowo yang indah dapat dinikmati wisatawan sambil memandang kesibukan nelayan dengan perahu cantiknya serta Pulau Mondoliko.

Event Tradisional "Perang Obor Tegalsambi" Jepara


Upacara tradisi “Obor-obor” merupakan salah satu upacara tradisional yang didimiliki oleh masyarakat kabupaten Jepara, khususnya desa Tegalsambi, kecamata Tahunan Jepara yang tiada duanya di Jawa Tengah ini dan mungkin juga di seluruh Indonesia.

Obor pada upacara tradisional ini adalah gulungan atau bendelan 2 atau 3 pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (Jawa : klaras). Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk di mainkan/digunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga sering terjadi benturan-benturan obor sama obor yang dapat mengakibatkan pijaran api yang besar, yang akhirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah “Perang Obor”.


Sejarah perang Obor

Upacara tradisional perang obor yang diadakan setiap tahun sekali, yang jatuh pada hari senin pahing malam selasa pon di bulan besar (Dzulhijah) diadakan dasar kepercayaan masyarakat desa Tegalsambi terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut. Konon ceritanya abad XVI Masehi, di desa Tegalsambi ada seorang petani yang sangat kaya dengan sebutan “Mbah Kyai Babadan”. Beliau mempunyai banyah binatang piaraan terutama kerbau dan sapi. Untuk mengembalakannya sendiri jelas tidak mungkin, sehingga beliau mencari dan mendapatkan pengembala dengan sebutan Ki GEMBLONG. Ki Gemblong ini sengat tekun dan rajin dalam memelihara binatang-binatang tersebut. Setiap pagi dan sore Ki Gemblong selalu memandikannya di sungai, sehingga binatang peliharaannya tersebut tampak sehat dan gemuk-gemuk. Tentu saja Kyai Babadan memuji ki Gemblong, atas ketekunan dan kepatuhannya dalam memelihara binatang tersebut. Konon suatu ketika, ki Gemblong mengembala di tepi sungai kembangan, asyik menyaksikan ikan dan udang yang ada di sungai tersebut dan tanpa menyia-nyiakan waktu ia langsung menangkap ikan dan udang tersebut yang hasil tangkapannya lalu dibakar dan dimakan dikandang. Setelah kejadian ini hampir setiap hari ki Gemblong selalu menangkap ikan dan udang, sehingga ia lupa akan tugas/kewajiban sebagai pengembala. Dan akhirnya kerbau dan sapinya menjadi kurus-kurus dan akhirnya jatuh sakit bahkan ada yang mulai mati. 

 Keadaan ini menyebabkan kyai Babadan menjadi bingung, tidak kurang-kurangnya dicari jampi-jampi demi kesembuhan binatang piaraannya tetap tidak sembuh juga. Akhirnya kyai Babadan mengetahui penyebab piaraannya menjadi kurus-kurus dan sakit, tidak lain karena ki Gemblong tidak mau lagi mengurus binatang-binatang tersebut namun lebih asyik menangkap ikan dan udang untuk dibakar dan dimakannya. Melihat hal semacam itu Kyai Babadan marah besar, dan saat di temui ki Gemblong sedang asyik membakar ikan hasil tangkapanya, kyai Babadan langsung menghajar ki Gembong dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ki Gemblong tidak tinggal diam, dengan mengambil sebuah obor yang sama untuk menghadapi Kyai Babadan sehingga terjadilah “perang obor” yang apinya berserakan kemana-mana dan sempat membakar tumpukan jerami yang terdapat di sebelah kandang. Kobaran api tersebut mengakibatkan sapi dan kerbau yang berada di kandang lari tunggang langggang dan tanpa diduga binatang yang tadinya sakit akhirnya menjadi sembuh bahkan binatang tersebut mampu berdiri dengan tegak sambil memakan rumput di ladang. kejadian yang tidak diduga dan sangat dramatis tersebut akhirnya diterima masyarakat desa Tegalsambi sebagai suatu hal yang penuh mukzijat, bahwa adanya perang obor secara jenis penyakit sembuh. Pada saat upacara tradisional perang Obor dipergunakan untuk sarana sedekah bumi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang masa esa atas limpahan rachmat, hidayah serta taufiknya kepada warga desa Tegalsambi, dan event ini di adakan setiap tahun sekali.

Selasa, 04 Januari 2011

Pantai Tirta Samudra


Pantai Tirta Samudra atau yang lebih di kenal oleh masyarakat umum dengan sebutan pantai Bandengan terletak+7 km sebelah utara dari pusat kota Jepara. Pantai yang airnya jernih dan berpasir putih ini sangat cocok untuk lokasi mandi laut. Tak jarang para wisatawan yang datang ke obyek ini sengaja untuk melakukan mandi laut. Umumnya mereka anak-anak, remaja, dan para wisatawan manca negara. Biasanya saat yang paling disukai pada waktu pagi hari dan sore menjelang senja dimana akan tampak panorama sunset yang memukau.

Di lokasi ini pula kita dapat bersantai ria atau duduk-duduk diatas shelter sambil menikmati semilir angin pantai serta udara yang masih alami (tanpa polusi). Kawasan obyek wisata yang lahannya cukup luas dan sangat besar di tumbuhi reribuhan pohon-pohon pandan ini memang cocok untuk kegiatan para remaja seperti kemah, volly pantai, sepada pantai atau kegiatan-kegiatan serupa. Selain itu pula didalam area obyek wisata ini sering digunakan sebagai ajang permainan motor cross dan pertunjukan festival layang-layang baik tingkat regional, nasional, maupun internasional. Obyek wisata ini dapat dijangkau sangat mudah oleh kendaraan umum, sebab sudah tersedia prasarana jalan yang beraspal dan sudah ada angkutan kota yang langsung menuju obyek lokasi wisata pengunjung obyek wisata tersebut yaitu karang rebus, rajungan, ikan bakar serta pindang srani.

Sejarah dan legenda Menurut catatan sejarah, pantai Bandengan masih terkait erat kehidupan pahlawan nasional yang juga tokoh emansipasi wanita yaitu RA. Kartini. Pantai tersebut merupakan tempat yang menarik yang pernah menjadi kenangan manis buat putra-putri Bupati Jepara ini. Gadis yang lincah dengan panggilan TRINIL ini semasa kecilnya sering sekali berwisata ke pantai Bandengan bernama keluarga sambil bermain ditepi pantai yang berhamparan pasir putih. Hati dan jiwa RA. Kartini seakan-akan telah menyatu dengan deburan ombak laut ini sering digambarkan lewat surat-suratnya kepada sahabatnya Stella di negeri Belanda.

Bangsawan India-Belanda yaitu Ny. Ovink Soer (istri assisten presiden) bersama suaminya, pada saat liburan pertama menjelang kenaikan kelas mengajak RA. Kartini bersama adik-adiknya Roekmini dan Kardinah untuk menikmati keindahan pantai tersebut. Kartini dan adik-adiknya mengikuti Ny. Ovink Soer mencari kerang sambil berkejaran menghindari ombak yang menggapai kaki mereka. Kapada Kartini ditanya apa nama pantai tersebut. Dijawabnya dengan singkat “Pantai Bandengan”. Kemudian Ny, Ovink Soer mengatakan bahwa di Holland pun ada pantai yang hampir sama dengan pantai Bandengan, hanya saja ada sedikit perbedaan bahwa airnya dingin, namanya SCHEVENING. Secara spontan mendengar itu Kartini menyela”....kalau begitu kita sebut saja... pantai bandengan ini dengan “KLEIN SCHEVENING”.

Berawal dari hal di atas, maka sampai sekarang pantai Bandengan terkenal pula dengan sebutan KLEIN SCHEVENING (bahasa Belanda : KLEIN berarti pantai dan SCHEVENING yaitu nama pantai Belanda). Selain pantai Bandengan merupakan tempat yang pernah mengukir sejarah perjalanan cita-cita RA. Kartini, di pantai itulah RA. Kartini dan Mr. Abendando mengadakan pembicaraan 4 mata yang berhubungan dengan permohonannya untuk belajar ke negeri Belanda, meskipun akhirnya secara resmi permohonannya kepada pemerintahan Hindia Belanda ditarik kembali dan biaya yang sudah disediakan buat RA. Kartini diberikan kepada pemuda berasal dari Sumatera yaitu Agus Salim (K.H. Ague Salim alm.)

Semtara itu dikisahkan obyek wisata pantai Bandengan masih ada keterkaitannya dengan lengenda asa-usul nama Karimun Jawa. Dalam legenda itu disediakan bahwa karena terdorong rasa prihatin akan perilaku anaknya yang nakal/bandel, maka Sunan Muria memerintahkan putranya yaitu Amir Hasan pergi ke arah utara menuju sebuah pulau yang nampak “Kremun-kremun” dari puncak gunung Muria. Kepergian ini dengan tujuan untuk memperdalam sekaligus mengembangkan ilmu agama. Kelak pulau yang dituju itu dinamakan pulau Karimun Jawa. Dalam perjalanan itu sampailah mereka di pantai yang banyak terdapat paya-paya dan ikan bandeng. Sampai sekarang tempat itu dinamakan desa Bandengan dan Pantai yang terlatak di desa ini di sebut pulau Pantai Bandengan.

Senin, 03 Januari 2011

Masjid dan Makam Mantingan Jepara

Masjid dan makam mantingan terletak +/- 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara, di desa Mantingan, kecamatan Tahunan kabupaten Jepara, sebuah desa yang menyimpan peninggalan kuno Islam dan menjadi sebuah masjid yang dibangun oleh seorang tokoh islamic yaitu PENGERAN HADIRI, suami Ratu Kalinyamat yang dijadikan pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara pulau Jawa dan merupakan masjid kedua setelah Masjid Agung Demak. Perlu diketahui juga bahwa di desa Mantingan mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Islam dengan mata penghasilan dari ukir-ukiran. Disamping itu disampaikan pula bahwa lokasi Masjid dan Makam Mantingan berdiri dari komplek yang mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat dari berbagai jurusan dengan fasilitas sarana jalan aspal. Hal lain yang tidak kalah penting usaha pemda Kabupaten Jepara dengan instansi terkait bekerjasama dengan pengusaha angkutan sudah berupaya memberikan kemudahan transportasi menuju lokasi Obyek Wisata Sejarah ini dengan sarana angkuta jurusan terminal Jepara-Mantingan yang hanya ditempuh beberapa menit saja.


Sejarah dan Legenda

Diatas telah disebutkan bahwa Masjid Mantingan merupakan masjid kedua setelah Masjid Agung Demak, yang dibangun pada tahun 1481 saka atau tahun 1559 masehi berdasarkan petunjuk  dari Condro Sengkolo yang terukir pada sebuah mihrab Masjid Mantingan berbunyi '' RUPA BRAHMANA WARNA SARI'' oleh Putra R. Muhayat Syech Sultan Aceh yang nernama R. Toyib. Pada awalnya R. Toyib yang dilahirkan di Aceh ini menimba ilmu ke tanah suci dan negeri Cina (Campa) untuk dakwah Islamiyah, dan karena kemampuan serta kepandaiannya pindah ke tanah Jawa (Jepara). Di Jepara R. Toyib kawin dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) putri Sultan Trenggono, sultan Kerajaan Demak, yang akhirnya beliau mendapat gelar ''SULTAN HADIRIN'' dan skaligus dinobatkan sebagai adipati Jepara (pengusaha jepara) sampai wafat dan di makamkan di Mantingan Jepara.

Dimakam inilah pangeran HADIRIN (Sunan Mantingan, Ratu Kalinyamat, Pati Sungging Badarduwung seorang patih keturunan China yang menjadi kerabat beliau Sultan Hadirin bernama CIE GWI GWAN dan sahabat lainnya di semayamkan. Makam yang selalu ramai dikunjungi pada saat'' KHOL'' untuk memperingati wafatnya Sunan Mantingan berikutnya upacara''GANTI LUWUR'' (Ganti Kelembu) ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali pada tanggal 17 Rabiul Awal dibarengkan dengan hari jadi Jepara.

Makam Mantingan sampai saat ini masih dianggap sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pohon pace yang tumbuh disekitar makam, konon bagi ibu-ibu yang sudah sekian tahun menikah belum dikarunia putra diharapkan sering berziarah ke makam Mantingan dan mengambil buah pace yang jatuh untuk dibuat rujak kemudian dimakan bersama suami istri, maka permohonannya insyaallah akan terkabulkan.


Tuah lain yang ada didalam cungkup makam Mantingan adalah ''AIR MANTINGAN atau AIR KERAMAT" yang menurut kisahnya ampuh untuk menguji kejujuran seseorang dan membuktikan hal mana yang benar dan mana yang salah, biasanya bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya air kramat ini digunakan seseorang bila sedang menghadapi suatu sengketa dengan cara air kramat ini diberi mantera dan doa lalu diminum. Namun karena beragamnya kepercayaan masyarakat, maka silahkan bagi yang percaya dan tidak memaksa untuk yang lain.

Senin, 27 Desember 2010

Pada halaman ini, akan berisi mengenai informasi-informasi mengenai Jepara, Bumi Kartini. Khususnya pada bidang pariwisata dan kuliner yang ada di kota ini. silakan nanti disimak. harap menunggu. kami sedang menyusunnya.